Senin, 28 Desember 2015

Keterampilan ibu, Inspirasi Suksesku


Catatan ini aku persembahkan untuk ibuku, sebagai ungkapan betapa bersyukurnya aku telah dibesarkan oleh seorang perempuan yang anggun, berkarakter, berbudi luhur, pekerja keras dan sangat terampil.

Ibuku adalah putri ke 7, putri dari sesepuh di desa Meling Lawang, Kabupaten Malang.  Sejak kecil, ibuku sudah sangat dekat dengan bapaknya.  Dari 12 saudara, ibuku mendapat kesempatan membantu Bapaknya mengatur desa.  Meskipun menjadi putri kesayangan bapaknya, tidak membuatnya menjadi anak yang manja.  Dari cerita ibu selama hidup,    Meskipun lahir dari seorang ibu dengan adat ketimurannya yang kental saat itu, ibuku memiliki karakter yang kuat.  Pengaruh dari sanak keluarga di sekeliling rumahnya baginya hanya kerikil tajam, yang harus ia lewati dengan bijak dan kewaspadaan.  Yang baik diterima, yang jelek jangan dihiraukan.

Sejak muda, ibuku sering terlibat dengan kegiatan keputrian di desanya.  Mulai memimpin rapat PKK, ikut organisasi pemuda, kursus menjahit, kursus membordir, mengikuti lomba-lomba kerajinan, bahkan ibuk memiliki jadwal menyanyi. Wah aku saja tidak punya jadwal sepadat itu.

Ibu memiliki hobby bercocok tanam.  Ibu sering mengajakku menanam jagung, menanam ketela pohon, menanam kacang tanah dan sayur sayuran.  Ibu juga bisa merawat pohon pisang dan pohon pepaya.  Selain itu, ibu juga memelihara ayam.  Selalu ada kegiatan di hari-harinya.  Alhamdulillah, ibuk tidak pernah sakit selama hidupnya. Hanya masuk angin karena hawa di Malang yang terlalu dingin, atau kecapekan karena sering menjahit.

Meskipun tidak memiliki rumah sendiri, ibuk sangat menjaga kebersihan rumah.  Ia rajin membersihkan kandang ayam, menyapu halaman, merawat tanamannya dan memperindah rumah dengan bunga-bunga yang ia tanam.  Bunga kesayangan ibu adalah bunga alamanda.  Ibu sangat suka mengkoleksi bunga  Sebulan sekali, ibu selalu membeli jamu untuk kesehatan badannya.  Setelah membeli jamu, ibu selalu menyempatkan diri untuk menikmati keindahan kebun bunga di Sidomulyo Batu.  Selain itu, ibu gemar berkunjung ke rumah saudaranya untuk menyambung tali silaturahmi.  Salah satu famili yang rutin ibu datangi adalah Mbak Yanti.  Ia adalah seorang penjahit.  Mbak Yanti selalu memberi gratis kain-kain perca sisa dari jahitannya.  Ibuku memanfaatkan kain-kain pemberian itu untuk kerajinan.  Mulai dari membuat keset, jampel/kain untuk melindungi tangan dari panci yang panas, taplak meja, baju-baju kecil untuk cucunya dan entahlah untuk apa lagi.  Yang jelas, kalau melihat tumpukan kain-kain perca itu aku sering berfikir “kapan habisnya kain-kain itu”.  Begitulah ibuku, ia tak pernah berhenti berkarya.  Yang membuatku salut, ibuk tidak pernah mengeluh dalam hidupnya.  Ibuk juga tak pernah mengemis kepada anak-anaknya untuk membantu memenuhi kebutuhan ekonominya.  Bahkan keset-keset buatannya sering diletakkan di masjid.  Aku lebih rela ketika hasil karya ibu dipersembahkan untuk di masjid daripada dibeli orang lain dengan harga yang tidak setimpal dengan waktu dan tenaga untuk membuatnya.  Namun ibuku memiliki hati yang pemurah.  Ia bahkan suka memberikan keset kepada anak-anaknya tanpa meminta upah.

Ibuku juga terampil menyulam.  Baju-bajuku sejak kecil selalu memiliki hiasan sulam tangan ibuku.  Sejak kecil ibu selalu membuatkan baju anak-anaknya sendiri.  Bajuku dan saudara-saudaraku sering kembar. 
Entah belajar dari siapa, ibuku juga pandai merajut.  Baik itu merenda dengan hakpen (yang istilahnya crochet dalam bahasa Inggris) maupun merajut dengan jarum knit (dalam bahasa inggris dikenal dengan kata knitting).

Suatu hari aku membuat bros rajutan dan menunjukkannya.  Aku bercerita bahwa aku sedang berjualan bros rajutan di sebuah toko aksesoris.  Betapa bahagia dan tak percaya ibu saat tau aku juga memiliki keterampilan yang sama dengannya yaitu merajut.  Padahal aku belajar dari you tube dan facebook.  Aku pun ikut dalam komunitas merajut di kota Malang.  Setelah tahu kami memiliki hobby yang sama, aku jadi semakin dekat dengan ibu. 





Ibu sangat pandai membuat taplak meja.  Yang membuatku takjub, tanpa pattern, ibu bisa membuat sebuah taplak yang cantik.  Sedangkan aku harus terpaku pada patter di buku yang aku beli.  Ibuku sangat hebat.  Aku sangat bahagia waktu itu.  Aku bahkan merencakan akan membangun bisnis ini bersama ibu.

Aku memiliki rencana, jika nanti sudah berkeluarga, aku akan menjalankan usaha sendiri di rumah.  Aku ingin membuka butik kecil-kecilan.  Aku bisa memajang hasil kerajinanku di etalase.  Betapa indah rencanaku.  

Memang benar, manusia berencana... Allah yang menentukan.  Ibuku harus memenuhi panggilannya.  Betapapun pedihnya dan beratnya, akupun wajib mengikhlaskan kepergian ibuk.  Namun kepergian ibuk tidak menyulutkan semangatku.  Diselingi tangis dan kerinduanku aku bertekad untuk lebih tegar menghadapi hidup.  Dengan kenangan indah selama bersama ibu, aku mendapat kekuatan dari Allah.  Semua kegemaran ibu, talentanya, keterampilannya, telah kuwarisi.  Berbekal itu, aku ingin lebih gigih berjuang.  Aku ingin membangun bisnisku dengan sungguh-sungguh.

Oh ibu, akan aku persembahkan kesuksesanku nanti hanya untukmu.  Hari ibu ini, terima kasih kuucapkan kepadamu.  Semoga ibu selalu damai dan mendapat kasih sayang berlebih dari Allah dan Rosulnya.
Aku menyangi ibu...

 

Sabtu, 26 Desember 2015

Kasih Ibu Menguatkanku

“Ibuk”, demikian aku memanggil seorang perempuan lembut yang telah melahirkan aku.  Sedikit-sedikit “Ibuk”, sedikit-sedikit “Ibuk”.

Ibuk adalah seorang perempuan mulia dengan cinta dan bakti yang tak habis-habisnya untuk kedua orang tuanya.  Ibuk mengabdikan dirinya sejak kecil hingga dewasa, bahkan untuk selama hidupnya.  Ibuk adalah seorang perempuan yang hidup dengan cinta dan pengabdian totalnya kepada suami.  Ibu adalah seorang perempuan yang sejak muda ingin disayangi ibu dan bapak dari suaminya.  Ibu adalah seorang perempuan yang entah seperti apa rumusnya bisa membagi kasih sayangnya untuk sang buah hati. 1, 2, atau lebih dari 10 anak sekalipun.  Ibuk, seorang perempuan yang selalu punya cara tersendiri untuk melakukan yang terbaik hingga ia layak mendapat sebutan mulia, yaitu “ibu”.

Oh Ibuk, hari ini tanggal 22 Desember 2015.  Hari ibu.  Hari yang biasanya aku ingin segera pulang kantor lebih awal.  Mengucapkan “Selamat hari ibu ya Buk” sambil mencium tangan ibu yang hanya satu minggu bisa sekali kucium.  Tak lupa aku membawakan roti tart lembut kesukaannya.  Ingin selalu kucium pipi dan keningnya.  Sungguh damainya rasanya, saat ibuk membalas dengan memelukku sambil berkata “Mugo-muga Gusti Allah maringi panjang umur, supoyo aku iso ndungakno koen yo nduk” – (“Semoga Gusti Allah memberikan umur panjang agar aku bisa mendoakanmu ya nak”.)

Aku masih ingat di tahun 2007 dulu, kusisihkan uang seribu rupiah dari uang saku kuliah pemberian ibuk.  Aku telah menyimpan 1 minggu lamanya untuk kubelikan hadiah tepat di tanggal 22 Desember 2007.  Aku membeli secengkeh pisang kecil yang sudah matang di depan kampusku.  Waktu itu aku ingin segera sampai rumah untuk menemuinya.  Kado yang sangat sederhana itu adalah kado pertama kali yang bisa aku beli untuknya.  Terbayang pandangan ibuk yang bahagia dan terharu menatapku.  Duh ibuk, mengingatmu akan selalu membuatku dadaku sesak karna menahan nafas dan air mata.  Aku sungguh merindukanmu.
 
Dulu aku sering aku berfikir, aku tidak ingin cepat dewasa agar bisa selalu tinggal dengan ibuk di rumah.  Bisa melihatnya setiap hari, membantunya membersihkan rumah, menemaninya memasak, makan bersama, dan sholat bersama.  Ini adalah harapanku.  Tapi hidup tak seindah dan sesederhana itu.  Aku harus bekerja ke Surabaya untuk bisa menafkahi ibuk.  Ibuk ingin aku bekerja di kantor.  Ibuk ingin aku dihormati orang.  Ibuk ingin aku berjuang mati-matian agar bisa menjadi pemimpin.  Saat aku berhasil, saat itulah aku bisa menjadi teladan bagi anak-anak ibuk yang lain.

Kini aku sangat sadar dan berusaha menghibur diri.  Baktiku selama ini tak bisa membalas peluh keringat dan air mata yang menetes di setiap doanya.  Apa yang aku berikan tak sebesar ujung kukunya.   Aku hanya ingin mengingat bahwa aku selalu ingin membuat ibuk bangga.  Aku sudah menjadi wanita karir seperti yang ibu inginkan.  Aku juga sudah menjadi pimpinan seperti yang ibu harapkan.  Namun yang membuat aku sedih adalah pikiran, “Mungkin ibuk sudah tidak kuat berjuang denganku.  Mungkin ibuk sudah sangat letih dan penat menjalani hari-harinya yang semakin berat.  Ibuk kenapa menyerah buk?  Oh ibuk mohon memaafkan yang tak tak berdaya ini”.

Perlahan kesedihan-kesedihan itu terkikis dengan banyaknya kenangan yang indah dan mengharukan antara aku dan ibuku.  Dalam susah dan senang ibuku selalu berbagi denganku.  Memang berat rasanya bebanku saat itu.  Hanya aku penopang dan harapan ibuk.  Kuliah sambil bekerja memberi les anak-anak SD kulalui selama 4 tahun.  Berangkat jam setengah 7 pagi, pulang jam 8 malam.  Aku harus bisa membagi untuk keperluan biaya kuliah dan untuk keperluan ibuk.  Namun aku sangat berterima kasih mendapat kesempatan begitu dekat dengannya.   Kenangan itu yang membuat aku kuat hingga hari ini.  Aku telah berjuang bersama ibuk.  Aku adalah saksi betapa suci doanya.  Betapa gigih perjuangannya menjadi seorang ibu.  Betapa bersih hatinya.  Tak sedikit orang yang mencacinya, baik itu tetangga, saudara atau anak-anaknya.  Hardikan, guncingan dan hinaan tak pernah ibuk masukkan hati.  Bahkan kepada orang yang memanfaatkan kebaikannya, sedikitpun ibuk tak pernah dendam.  Ibuk selalu mengajarkan aku untuk membalas lemparan batu dengan usapan kapas. 
 
Oh Ibuk, sungguh di mataku engkau sempurna dalam ketidakberdayaanmu.  Ibuk yang berjalan tegap dalam kepincangan.  Ibu yang berjalan sehat dalam puasanya.  Kekurangan ekonomi tak pernah membuatnya malu untuk menemaniku berjuang hingga bisa masuk ke perguruan tinggi.  Aku bangga padanya.  Kesederhanaannya dalam berbusana tak menyurutkan kepercayaan dirinya untuk menghadiri wisudaku.  Saat ia senang, saat ia mendapat rejeki, ia tak pernah pelit kepada siapapun.  Tangannya selalu di atas.  Ibuk juga sungguh ramah dan memiliki jiwa welas asih. Selama hidupnya ibuk adalah perempuan terampil yang tak mau diam.  Dia suka merajut, menyulam, menjahit, dan menyanyi, melukis, dan menanam bunga dan sayuran.  Dia adalah perempuan yang sangat anggun, berkarisma, suci, tangguh dan luar biasa.

Ibuk… ini adalah hari ke 20 sejak kepergian ibuk.  Ibuk apa tak merindukan aku? Tidakkah ibuk ingin menjumpaiku dalam mimpiku?  Ataukah ibuk marah kepadaku?  Katakan buk!

Setelah kepergian ibuk, justru akulah yang merasa meninggal.  Aku tak tahan menahan sesak di dada.  Ingin menjerit tapi tidak mampu.  Aku merasa tidak kuat dan merasa sendiri.  Aku sudah kehilangan satu-satunya orang yang tulus di dunia ini.  Orang yang selalu mendoakan aku.  Orang yang selalu membelaku saat aku dalam bahaya.  Duh Tuhan, mohon kuatkanlah aku seperti Engkau menguatkan ibuku selama masih berjuang.  Aku sungguh ingin memeluk ibuk lebih lama.  Tiba-tiba aku ingat pesan ibuk.  Saat ibuk meninggal aku tidak boleh menangis.  Jika aku menganis, ibuk akan sedih dan berat langkahnya.  Aku lalu berbisik di telinga ibuk.  “Innalillahi wainna ilaihi rojiuun, la khaula walaa kuwwata illaa billaah”.  Perlahan aku bisa bernafas.  Sambil mencium pipi ibuk aku berbisik lagi di telinga ibuk “Aku sayang ibuk, Aku ikhlas ibuk beristirahat.  Ibuk mohon ikhlaskan aku juga.  Aku sangat sayang ibuk.  Aku akan terus berjuang memenuhi keinginan ibuk.  Ibuk bangga kan?” 

Ibu, memang sudah meninggal.  Tapi justru aku merasa lebih dekat dengan ibu.  Setiap mengingatnya spontan terbaca surat Al-fatihah.  Setiap selesai sholat maghrib, atau sebelum tidur aku bacakan Surat Yaasiin.  Semata-mata agar ibuk tenang di alam barzah.  Ternyata batin antara ibu dan anak masih begitu erat.  Ini telah kualami begitu dalam.  Hari demi hari aku semakin tegar.  Dengan selalu mengingat pesannya “Meskipun ada badai dan petir, jangan terkejut atau takut”. 
 
Ibuk, 32 tahun sudah ibuk menemani aku.  Merawatku dengan cara ibuk sendiri.  Dengan kasih sayang ibuk yang tulus dan menyenangkan.  Dengan doa ibuk yang mengalir laksana air.  Ibuk sudah mendidikku dengan sangat baik.  Ibuk sudah berhasil menata hidupku hingga aku dewasa.  Ibuk, sungguh jasamu begitu agung.  Begitu besarnya kemurahan Allah memberiku kesempatan menjadi putri kesayanganmu.  Namun jujur aku merasa waktu terlalu cepat.  Sungguh aku masih merasa kurang menjalani hidup bersama ibu.

Aku bersyukur selama ini sudah berusaha membahagiakan ibuk dengan selalu berkata iya.  Tak ada penyesalan semenjak kepergian ibuk.  Ini semua berkat ibuk.  Ibuk, sesungguhnya aku kini telah sadar.  Ibuk cinta sejatiku.  Ibuk matahariku. Ibuk belahan jiwaku.  Ibuk selalu bilang kalau aku permata hati ibuk.  Duh ibuk, betapa beruntung aku memiliki ibuk yang berhati lembut dan cantik laksana peri.  Ibuk yang selama ini mengusap air mataku.  Ibuk yang mendoakanku saat sakit. Ibuk yang selama ini menjadi tempat curahan hatiku.  Ibuk selama ini yang mengobati luka hatiku.  Oh ibuk, tak terkatakan betapa aku sangat menyayangi ibuk.

Ibuk, seandainya ibuk ingin aku memeluk ibu sepanjang waktu, tentu akan aku lakukan.  Aku bersyukur telah memenuhi harapan ibuk.  Terima kasih telah menyayangiku semenjak dalam kandunganmu.  Ibu sudah mengajariku mengeja dan lancar membaca.  Ibu yang selalu menemani aku belajar hingga aku selalu masuk peringkat utama.  Di tengah ketidakberdayaanmu, ibuk selalu memberiku semangat dan kekuatan lahir dan bathin hingga aku bisa masuk kuliah D3 dan D4.  Hal yang tidak mungkin aku dapatkan kecuali hanya karena doamu.  Aku ingat saat ibuk bilang ke bapak “Kalau bukan karena anak kita yang pandai, tidak mungkin kita melangkah kemari.  Sungguh Gusti Allah maha pemurah”.  Aku senang kalau ibu senang.

Tak bisa dipungkiri begitu sederhana dan suci harapan seorang ibuk.  Ibuk tidak pernah meminta balasan anaknya.  Ibuk tidak pernah punya niatan meminta bayaran dari gaji anak-anaknya.  Ibuk sungguh memiliki hati yang begitu halus namun luar biasa kuatnya.  “Satu ibu mampu merawat 10 anaknya.  Sedangkan 10 anaknya tak akan mampu merawat 1 ibu”.  Namun hanya anak yang baik yang bisa membaca dan menyentuh isi hatinya.   Kini aku bahagia setelah mengetahui keinginan ibuk.  Dalam lembar catatan ibuk, ibuk menulis “Ibu tua ini percaya Gusti Allah selalu menjawab doanya.  Ibu yang renta ini hanya ingin dihormati anak-anaknya yaitu dengan keberhasilannya”.  Aku tidak tahan lagi menahan air mata dan nafas yang sesak.  Oh ibuk, biarlah aku mengenang kasih sayangmu sebagai kekuatanku dan inspirasiku untuk terus berjuang dengan lebih tegar.


Di hari Ibu yang damai ini, aku berjanji akan menjadi anak yang lebih baik. Aku akan menjadi anak yang sholehah karena hanya doa anak yang sholehah yang bisa menghantarkan ibuk nanti ke surga.  Aku memang belum bisa membangunkan rumah untuk ibuk selama ini.  Tetapi aku janji aku akan membangunkan rumah ibuk di surga.  Aku akan menyebut ibuk dalam setiap doaku.  Aku percaya Allah akan menyayangi ibuk seperti ibuk sangat menyayangiku aku selama ini.  Aku percaya Ibuk akan mendapat tempat terbaik di sisi Allah karena ibuk sudah berhasil merawat titipan Allah dari kecil hingga dewasa dengan sangat baik.  Oh ibuk, hanya ini yang bisa aku lakukan untuk ibuk untuk membalas kasih sayang ibuk padaku selama ini.  Terimalah kadoku ini.

Selamat jalan ibukku sayang…
Terima kasih telah mengajariku lebih kuat...
Aku selalu menyayangi ibuk…