Jumat, 12 Februari 2016

Doa Ibu Senantiasa Mengiringi

Hari ini aku menyaksikan lagi betapa seorang ibu, adalah malaikat yang tak terlihat. Dari sudut pandangku sih, begini ceritanya.

Hari ini aku mewawancarai seorang calon pegawai produksi.  Ia berusia 19 tahun. Icha namanya.
Aku senang dengan kejujurannya.  Tak seperti calon pegawai lainnya, yang berkata-kata manis lantas tak sampai 1 minggu keluar tanpa pamit.  Banyak yang aku temui, tiap kutanya, berapa gaji yang mereka terima di tempat kerja sebelumnya.  Selalu saja jawabnya UMR.  Padahal sulit dipercaya jika apa yang dikatakannya benar.

Icha baru saja lulus dari SMA.  Ia bekerja di sebuah rumah industri kecil di Gresik.  Icha ditempatkan di bagian packaging boneka plastik.  Hanya 5 hari.  Gaji perharinya tidak sampai empat puluh ribu Rupiah.  Setelah aku bertanya formal tentang pendidikan, keluarga, pengalaman, dan gaji, aku iseng bertanya-tanya untuk lebih mengenalnya.

"Hah 5 hari?" aku meminta kepastian.
Ia menjawab, "Iya, saya kerja cuma lima hari.  Kerjanya lumayan berat, Bu.  Dan kebetulan tidak ada order, anak baru diminta keluar. Ya saya keluar".
"Oh iya2".  Aku mengangguk.  Okay, trus kamu kerja di mana lagi?
"Saya kerja di pabrik sarung."
"Oyah. Berapa lama?, tanyaku.
"Saya baru 4 bulan bekerja di sana." 
"Kalau begitu kemarin saya telpon, itu masih bekerja ya?"
"Iya. Tapi sudah pamit mau berhenti.  Saya ingin kerja di sini. Karna sudah bicara banyak dengan Maya"
"Okay, kamu sudah tau sedikit banyak bagaimana kerjanya di sini kan?"
"Iya Bu.  Yang terpenting dekat dengan rumah."
"Kamu ke sini tadi naik sepeda?"
"Iya."
"Sepeda kamu sendiri?"
"Bukan. Miliknya Bapak."
"Menurut saya, mending kalo kerja minta tolong Bapak untuk mengantar dan menjemput. Supaya sepeda bisa dipakai yang di rumah."
"Iya bu. Itu juga tujuan saya cari kerja yang dekat rumah."
"Okay, yang terpenting. Saya minta kamu bekerja ini, semata-mata adalah untuk ibadah?
"Apakah kamu bekerja untuk diri sendiri?
"Iya benar.  Saya ingin meraih mimpi saya."
"Apa mimpimu?"
"Saya ingin kuliah dan bekerja yang layak supaya bisa bantu rumah dan saudara yang tidak mampu."
"Apa kamu tidak bekerja untuk ibumu?"  Aku mungkin sudah melampaui batas.  Tapi entahlah, aku hanya ingin memaksanya agar seperti aku.  Sungguh tidak pada tempatnya. Tapi ini begitu saja mengalir.
"Apa kamu dekat dengan ibumu?"
"Iya."
"Lebih dekat dengan Bapak atau Ibu?"
"Dengan Bapak."
"Saya lebih suka dengan Bapak karena Bapak berawawasan sedangkan ibu tidak.  Saya bisa bertanya segala hal pada Bapak karena bapak selalu bisa memberi pertimbabangan tiap saya tanya."

"Begitukah?"  Aku langsung kecewa mendengar jawabannya. Mungkin aku terbawa emosi.
"Okay.  Tapi, tolong satu hal kamu harus tau ya.  Ibu mungkin tidak berwawasan.  Tapi jangan sampai menyakitinya yah.  Ringan-ringan saja.  Saat kamu mau berangkat, bicaralah yang baik.  "Ibuk, jangan capek-capek ya. Aku tak kerja dulu.  Aku minta doanya ya bu".  Percayalah non, seorang ibu sama sekali tidak menginginkan kamu bekerja lantas memberikan uang kerjamu untuk diserahkan padanya.  Ibu itu hanya ingin melihat anaknya sukses." 

"Iya, saya pernah membaca dan mendengan kata-kata ibu."

"Ya hanya itu yang bisa saya pesankan kepada kamu.  Saya persilahkan kamu kerja di sini.  Kerja dengan niat ibadah.  Lakukan yang terbaik yang kamu bisa."

Kemudian aku menyudahi wawancaraku.  Aku mengantarkannya ke ruang produksi dan mengenalkannya pada anak-anak yang saat itu sedang bekerja.

***


Beberapa hari yang lalu, atau boleh dibilang akhir-akhir ini aku menjumpai teman-teman di pabrik yang mengalami kerasukan.  Aku sama sekali tidak memiliki ilmu kanuragan hehehe (berharap memiliki kemampuan seperti mas Ahmad-nya Mr. Tukul Jalan Jalan).  Bermodalkan Bismillah dan Ayat Kursi, aku berusaha menenangkan salah seorang di antaranya. Entah sudah berapa kali aku terbiasa dengan hal itu.

Siang itu aku mendekati Eka yang gemetaran. Giginya gemerutuk seakan menahan kedinginan.  Matanya terpejam. Di kedua matanya, terlihat mengalir air matanya.

Aku memegang tangannya sambil membaca Ayat Kursi. Kulakukan sebisaku.  Tak ada perubahan.  Aku baca lagi ayat kursi. Kali ini aku bisikkan di telinga kirinya.  Tangannya yang kaku dan dingin mulai membalas pegangan tanganku.  Aku berbisik lagi "Mohon keluar yah... kasihan Eka".  Aku menatap Eka, ia tetap terpejam.

Tak lama, tubuh yang tadinya gemetar, perlahan mulai tenang. Ia masih saja terpejam dan memegang tanganku. Kemudian aku memaksanya untuk bangun. Aku panggil-panggil namanya.  Ia menurut.  Kutepuk-tepuk pipinya.  "Mohon keluar yaaa... Apakah ada yang mau disampaikan? Masih tak ada jawaban.  Aku bisikan lagi Ayat Kursi di telinganya.  Aku bingung harus bagaimana.  Aku menatap wajah itu.  "Kalau tidak ada yang disampaikan, mohon keluar ya".  Tak kusangka ia mengangguk pelan.  Bisa keluar sendiri?" Ia mengangguk lagi. (Seandainya dia menjawab tidak bisa keluar sendiri - aku justru makin bingung harus bagaimana). "Terima kasih ya.... Assalamualaikum."

Kutepuk-tepuk pipi anak itu.  Terlihat berat sekali matanya terbuka.  Salah seorang temanku duduk di sampingku dan memberikan segelas air.  Aku bantu Eka meminumnya.  Kemudian, aku duduk di belakang Eka dan menopang punggungnya.  Dengan tetap memegang tangannya, aku berbisik padanya.  "Hafal Ayat Kursi non?" Ia mengangguk.  "Bagus. Kita baca bareng yah."  Bersamanya aku mengulang lagi Ayat Kursi.  Alhamdulillah dia semakin tenang.

Aku mengajaknya sholat dhuhur. Aku sempat bersalaman dengannya.

***
Sore ini  aku bertemu dengan staf di pabrik sebelah tempat Eka bekerja.

"Bagaimana kondisi anak-anak Bu?"
"Oh aman mbak."
"Syukurlah...."
"Tapi Eka nggak masuk.  Kayaknya nggak kembali."
"Oyah?"
"Nggak boleh kerja sama ibunya.  Lha dia bilang kesetrum."
"Oh gitu."

Aku masuk ke ruang kerjaku.  Pikiran macam-macam terlintas di benakku.
Aku teringat ibuku.

Oh ibu, ibundaku tersayang.  Kalau itu terjadi padaku, mungkin sama dengan yang akan kau lakukan.  Engkau pasti khawatir dengan keselamatanku.  Bahkan Engkau tak segan-segan akan melarangku bekerja jika itu berbahaya.

Oh ibu, Aku merasakan do'amu selalu mengiringiku.
Ibu... aku begitu merindukanmu. 
Aku sungguh percaya, engkau tak pernah menginginkan aku bekerja lantas memberimu uang yang melimpah.
Aku hanya percaya, engkau ingin aku sukses dan bahagia.
Aku sangat percaya engkau selalu mendoakan keselamatanku.
Semoga Allah membalas doamu yang murni.
Oh ibu, aku sangat rindu

Tidak ada komentar: